Senin, 18 September 2017

SAMBAS KEBANJERAN


Hasil gambar untuk geratak sabok



SUNGAI Sambas kebanjiran, tujuh hari tujuh malam, nak bejalan kepayahan.
Geratak Sabuk bepatahan, dilanggar lanting, dari sembarang. Urang sabuk kebabangan, nak nyebarang kepayahan.
Oooo ngape tang gaye.. jikube..jikube …
Barang jak ooo..... udah takdir Tuhan.

Kalimat di atas adalah sepenggal bait lagu "Sungai Sambas Kebanjiran" yang dirilis tahun 1960-an. Lagu itu menggambarkan kisah, dimana Geretak Sabuk, salah satu jembatan peninggalan jaman penjajahan Belanda putus diterjang banjir. Dan sekarang lagu ini sudah melekat di hati masyarakat Sambas. Bahkan sebelum Kabupaten Sambas memisahkan diri dari Kota Singkawang. Dan hingga kini lagu musibah itu masih melekat di Kabupaten Sambas.
Banjir mengakibatkan aktivitas lumpuh. Para pegawai dan karyawan harus berpisah dari kantornya. Nelayan menjadi jauh dari kapalnya. Pelaku usaha kesulitan menjalankan usahanya. Begitu juga dengan nasib petani, harus rela berpisah dari lahannya.
Jika ditanya perasaan mereka karena banjir, yang ada tentu cemas, gundah, gelisah. Semua bercampur. Terutama bagi petani, berladang satu-satunya keterampilan yang dimiliki. Dengan berladang ia menghidupkan anak dan istrinya. Dengan kedatangan banjir pula, petani harus mengungsi.
Itulah yang dialami para petani.
              pada saat itu geratak sabo' yang sebagai ikon sambas pada zaman dahulu yang tepatnya sebelah timur karaton sambas rusak karena diterjang ganasnya banjir pada waktu itu, desa yang paling merasakan banjir tersebut adalah desa-desa yang berada tepat di tepi sungai contohnya Desa Pasar Melayu ,Durian, Lubuk Dagang, Tanjung Bugis, Pendawan, Dll.
             Dan sekarang geratak sabo' sebagai saksi bisu kejadian itu telah dibangun menjadi jembatan yang kuat dan kokoh dari sebelumnya. Gambar di bawah adalah jembatan sabo' yang baru.
Hasil gambar untuk geratak sabok